novel

Sepuluh Novel Esensial yang Menunjukkan Kekayaan Budaya Sastra Timur Tengah

Novel : Meskipun memiliki ayah keturunan Arab, penulis artikel ini tidak diperkenalkan pada tradisi sastra, musik, dan puisi Timur Tengah yang kaya. Sejak kecil, fokus keluarganya lebih banyak tertuju pada aspek ibadah, sehingga ia tumbuh dengan ketidakseimbangan. Di sekolah, ia mempelajari kanon sastra Barat, tetapi tidak memiliki pemahaman tentang karya sastra dari leluhurnya sendiri.

Setelah lulus, ia mulai berkelana sendiri ke Timur Tengah untuk mencari warisan budayanya. Ia mempelajari bahasa, membaca karya sastra, dan mendalami potensi perubahan sosial serta politik di kawasan tersebut. Akhirnya, ia membangun kariernya di Irak, tanah air ayahnya.

Novel debutnya, Fundamentally, terinspirasi dari tahun-tahun intens yang ia habiskan bekerja untuk berbagai LSM di Irak. Dengan humor gelap, novel ini menyindir industri bantuan internasional yang penuh dengan masalah serta menggali pengalaman Muslim generasi kedua di Inggris yang mencari identitas mereka di Timur Tengah. Kisahnya mengikuti Nadia, seorang akademisi muda Inggris yang direkrut oleh PBB untuk memimpin program deradikalisasi bagi perempuan mantan anggota ISIS di Irak. Dikelilingi oleh politisi korup, rekan kerja yang tidak kompeten, dan seekor burung beo yang terus-menerus mengoceh, Nadia hampir menyerah. Namun, ketika bertemu Sara, seorang remaja asal London Timur yang bergabung dengan ISIS pada usia lima belas tahun, Nadia mulai memainkan fantasi penyelamatannya sendiri—yang bisa berujung pada bencana.

Artikel Lainnya : Memorabilia Sylvia Plath

Sastra Timur Tengah kontemporer dan novel yang ditulis oleh diaspora Arab telah berperan penting dalam membantu penulis memahami posisinya dalam lanskap sastra non-Barat. Berikut adalah sepuluh novel esensial yang menurutnya penting untuk dibaca:

1. Woman at Point Zero – Nawal el-Saadawi

Firdaus, seorang perempuan Mesir, telah membunuh mucikarinya dan menunggu hukuman mati di sel penjara. Dari sana, ia menceritakan kisah hidupnya yang penuh dengan pelecehan, eksploitasi seksual, kontrol koersif, dan kekerasan. Namun, ada kekuatan dalam suaranya—sebuah kejelasan visi dan keputusan yang jujur terhadap dampak patriarki.

Novel ini adalah teriakan kemarahan, yang konon ditulis dalam satu minggu. Daya emosionalnya begitu kuat sehingga kesan mendalamnya masih terasa bahkan setelah bertahun-tahun membacanya.

2. The Rope – Kanan Makiya

Novel ini menggambarkan bagaimana rakyat Irak menyia-nyiakan kesempatan untuk membangun negara yang lebih baik setelah jatuhnya Saddam Hussein. Diceritakan melalui sudut pandang seorang milisi Syiah yang menyaksikan eksekusi sang mantan presiden, kisah ini mengurai titik balik yang menyebabkan Irak terjerumus ke dalam kekerasan sektarian yang mengerikan.

Penulis Kanan Makiya, seorang pendukung invasi Irak, dengan berani meneliti kegagalan komunitasnya sendiri. Dengan prosa yang indah dan melankolis, novel ini memberikan wawasan mendalam tentang realitas emosional pasca-invasi.

3. Guapa – Saleem Haddad

Rasa, seorang pria gay Arab, tertangkap basah oleh neneknya saat berada di tempat tidur bersama kekasihnya, Taymour. Dalam dunia di mana homoseksualitas bisa berujung pada bencana, Rasa berjuang mempertahankan hubungan mereka. Di latar belakang, kota tempat mereka tinggal dilanda kekacauan akibat otoritarianisme, kebrutalan polisi, dan gerakan perlawanan yang semakin didominasi oleh Islamisme.

Novel ini adalah refleksi penuh duka tentang kegagalan revolusioner sekuler di Timur Tengah serta pertempuran internal mereka yang ingin menggulingkan rezim korup tetapi takut terhadap penindasan Islam konservatif.

4. Enter Ghost – Isabella Hammad

Setelah bertahun-tahun mengabaikan tanah leluhurnya, Sonia kembali ke Haifa setelah mengalami patah hati. Awalnya, ia merasa canggung dan asing. Namun, ketika bertemu dengan Mariam, seorang sutradara teater yang berani, ia tertarik untuk bergabung dalam produksi Hamlet lokal. Lambat laun, ia mulai memahami realitas Palestina kontemporer.

Novel ini mengangkat tema tentang tanggung jawab diaspora, ketegangan antara mereka yang tinggal dan mereka yang pergi, serta rahasia keluarga yang mempengaruhi identitas seseorang.

5. In the Country of Men – Hisham Matar

Di Libya pasca-revolusi 1969, kehidupan masa kecil Suleiman terganggu oleh penangkapan para pria oleh pemerintah. Dalam ketakutan, ia melihat keluarganya dihantui bahaya, buku-buku dibakar, dan ia ditinggalkan dalam kebingungan.

Novel ini dengan luar biasa menggambarkan dampak represi politik terhadap sebuah keluarga, terutama hubungan kompleks antara seorang anak dan ibunya.

6. The Yacoubian Building – Alaa al-Aswany

Novel ini mengisahkan kehidupan para penghuni sebuah apartemen di Kairo, yang berasal dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi. Dengan karakter yang beragam, novel ini menggambarkan korupsi dan tantangan yang dihadapi masyarakat Mesir modern.

Melalui satir tajam, novel ini mampu tetap ringan dan menghibur, sambil memberikan wawasan mendalam tentang dinamika sosial Mesir.

7. Girls of Riyadh – Rajaa Alsanea

Dalam novel ini, seorang narator anonim mengirimkan email mingguan yang membahas kehidupan empat temannya di Arab Saudi. Mereka menentang norma sosial dengan jatuh cinta pada pria yang salah, mengemudi secara ilegal, dan bahkan minum alkohol. Namun, di balik itu semua, mereka berjuang antara keinginan pribadi dan harapan masyarakat.

Novel ini menuai kontroversi ketika pertama kali diterbitkan pada 2005, tetapi tetap menjadi wawasan berharga tentang kehidupan perempuan muda di Kerajaan Saudi.

8. Palace Walk – Naguib Mahfouz

Bagian pertama dari Cairo Trilogy, novel ini mengikuti kehidupan seorang ayah yang otoriter, al-Sayyid Ahmad, yang mengekang keluarganya dengan aturan ketat tetapi diam-diam menikmati kehidupan malam yang penuh kebebasan.

Meskipun ditulis pada tahun 1950-an dan berlatar di awal 1900-an, novel ini tetap relevan dan dianggap sebagai mahakarya sastra Arab.

9. The Queue – Basma Abdel Aziz

Di sebuah Mesir distopia, warga harus menunggu di antrian panjang untuk mendapat izin dari pemerintahan otoriter agar kebutuhan dasar mereka terpenuhi. Yehia, yang terkena peluru, harus mendapatkan izin dari “Gerbang” agar pelurunya bisa dikeluarkan. Namun, Gerbang tak pernah dibuka, dan pemerintah bahkan menyangkal keberadaan luka Yehia.

Novel ini merupakan satire berani yang mengingatkan pada Kafka dan Orwell, serta menggambarkan absurditas birokrasi Mesir.

10. Frankenstein in Baghdad – Ahmed Saadawi

Selama perang saudara Irak, seorang penjual barang rongsokan mengumpulkan potongan tubuh korban bom untuk memberikan mereka pemakaman layak. Namun, tubuh yang ia jahit kembali hidup dan mulai melakukan aksi balas dendam. Saat pembunuhan semakin kacau, batas antara korban dan pelaku menjadi kabur.

Novel ini memadukan horor, fiksi ilmiah, dan realisme magis untuk menangkap kekacauan perang sipil Irak.

Baca Juga : Jendela Teknologi Tinggi Berguna Mengurangi Konsumsi Energi Bangunan Hingga 20%